Senin, 16 Maret 2009

ADA’ DAN KOMBONGAN ADA’(Pemerintahan dan Badan Musyawarah Adat)

Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi menguasai seluruh Tana Toraja pada akhir tahun 1906 yaitu pada saat seluruh bangsawan dan penguasa adat Toraja sudah mengakui atau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda tersebut, tetapi sebelumnya seluruh daerah adat Toraja dikuasai oleh penguasa adat atau dikuasai / diperintah oleh bangsawan bangsawan yang system pemerintahannya dikatakan Ada’ dan orangnya bernama Tongkonan Ada’, dan daerah-daerah adat itu berdiri sendiri otonom, namun semuanya terikat dalam satu perikatan adat besar (federasi) yang dinamakan Kombongan Ada’ dan Kombongan Ada’ yang besar dan tertinggi itu dinamakan Kombongan Ada’ Basse Lepongan Bulan Limbu Kalua’na Tana Matarik Allo (badan musyawarah perikatan lepongan Bulan atau Tana Toraja).

Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo atau Tana Toraja terdiri atas 3 (tiga) daerah adat besar sejak dari dahulu yaitu sejak terciptanya Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk Sanda Pitunna/Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu 7777) dari Banua Puan Marinding yaitu mula pertamanya terbaginya Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo masing-masing;

  1. Daerah Adat pada bagian Timur yang dinamakan Daerah Adat Padang di Ambe’i atau Daerah Adat pekamberan
  2. Daerah Adat pada bagian tengah yang dinamakan Daerah Adat Padang di Puangngi atau Daerah Adat Kapuangan
  3. Daerah Adat pada bagian Barat yang dinamakan Daerah Adat Padang di Ma’dikai atau Daerah Adat Kama’dikaan

Ketiga Daerah Adat besar itu masing-masing berdiri sendiri dan berdaulat ke dalam tetapi keluar merupakan satu kesatuan dalam persekutuan Kombongan Basse Lepongan Bulan yang ketiganya mempunyai kedudukan yang sama (lihat struktur pemerintah adat Lepongan Bulan terlampir).

Tiap-tiap Daerah Adat itu masih terbagi atas beberapa kelompok adat yang namanya Kombongan Ada’, umpamanya Daerah Adat Pekamberan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada’ Ambe’ dan Daerah Adat Kapuangan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada’ Puang serta Daerah Adat Kama’dikaan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada’ Ma’dika.

Tiap-tiap Kombongan Ada’ itu mempunyai pemerintahan kecil sebagai pemerintahan yang juga berdaulat ke dalam yang bernama Lembang (berasal dari kata Lembang=perahu) yang artinya mempunyai kesatuan dan penanggung jawab sendiri yaitu satu daerah tertentu dimana lembang ini sudah diperintah oleh seorang penguasa lembang yang masing-masing Daerah Adat mempergunakan gelar masing-masing sesuai pembahagian.

- Puang lembang untuk Daerah Adat Kapuangan

- Ambe’ Lembang untuk Daerah Adat Pekamberan

- Ma’dika Lembang untuk Daerah Adat Kama’dikaan

Masing-masing daerah lembang tersebut di atas itu mempunyai pula badan musyawarah yang membantu penguasa adat lembang yang dinamakan Kombongan Lembang-Lembang untuk tiap Daerah Adat, tetapi ke dalam lembang dikatakan Kombongan Lembang.

Keputusan musyawarah lembang adalah merupakan garis pemerintahan dari pada penguasa adat lembang masing-masing Daerah Adat atau Kelompok adat.

Di bawah pemerintahan lembang masih terdapat beberapa daerah kerja yang merupakan pembantu pelaksana kerja dari pada lembang dan daerah bagian pemerintahan kerja atau wilayah ini dinamakan daerah Bua’ yang dikuasai oleh seorang penguasa adat Bua’ dan langsung bertanggung jawab kepada lembang, yang dalam tiap lembang itu terdiri beberapa daerah Bua’ sesuai dengan kepentingannya. Ada kalanya 2 atau 3 daerah Bua’ untuk satu daerah lembang.

Pemerintah dari daerah Bua’ itu adalah penguasa Bua’ yang masing-masing Daerah Adat sebagai berikut:

- daerah Bua' dari daerah Lembang kapuangan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Puang Bua’

- daerah Bua' dari daerah Lembang pekamberan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Ambe’ Bua’

- daerah Bua' dari daerah Lembang Kama’dikaan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Ma’dika Bua’

Dari daerah Bua' ini di dalamnya masih terdiri dari beberapa daerah dengan pemerintahan wilayah kecil yang seolah-olah desa pada waktu sekarang dan dikoordinir oleh Bua’, dan daerah ini bernama daerah penanian, yaitu tiap-tiap Bua’ terdiri dari beberapa penanian yang tiap Penanian ini diperintah oleh satu badan pemerintahan adat yang umumnya terdiri dari 4 (empat) anggota Toparengnge’, salah seorang dari Toparengnge’ itu sebagai ketua.

Inilah dewan pemerintahan adat yang berlaku umum di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan sejak dahulu kala, dan gelar Tongkonan Parengnge’ ini berlaku pada semua Daerah Adat, yang sebagai diketahui bahwa gelar Toparengnge’ ini adalah gelar yang disebarkan oleh penguasa Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu dari Banua Puang Marinding pada waktu pembagian Daerah Adat.

To Parengnge; artinya pemikul tanggung jawab.

Di dalam satu daerah penanian terdapat pula pembantu-pembantu pemerintahan adat yang masing-masing Daerah Adatnya memberi nama masing-masing sesuai dengan kepentingannya dan keadaan setempat seperti ada yang menamainya To Bara’, ada pula yang menamainya Anak patalo (to=orang; bara’=angin ribut yang tak dapat ditahan; anak=anak; patalo=menang sendiri), dan orang - orang inilah yang mendampingi To Parengnge’ dalam membina masyarakat dan pemerintahan adat daerah Penanian.

Untuk ketua-ketua dewan adat penanian juga ada nama atau gelar masing-masing daerah adat seperti daerah adat Lembang, Bua’ dan untuk Daerah Penanian sebagai berikut:

- daerah adat Kapuangan memakai pula gelar untuk ketua dewan adat Penanian

- daerah adat Kama’dikaan memakai pula gelar Ma’dika untuk ketua dewan adat Penanian

- daerah adat Pekamberan memakai pula gelar To Parengnge’ dan Sokkong Bayu untuk ketua dewan adat penanian

Seluruh masalah yang terjadi dalam daerah Penanian harus setahu untuk ketua dewan adat Penanian kemidian diteruskan kepada penguasa Bua’ dan seterusnya kepada penguasa adat Lembang sebagai pemerintahan adat yang tertinggi ialah penguasa lembang, Puang lembang, Ambe’ Lembang dan Ma’dika Lembang.

Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk di Tana Toraja, maka tetap mempergunakan penguasa adat yang tertinggi ialah pemerintahan lembang namun namanya dirobah tetapi statusnya tetap sebelum datangnya pemerintah Belanda.

Daerah Penanian yang sudah disebutkan di atas itu masih terdiri atas 4 (empat) daerah kelompok kerja atau kesatuan abdi yang dinamakan Tepo Padang (tepo=seperempat; padang=tanah) ada pula yang mengatakan tepo Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, jadi seluruh daerah penanian harus terbagi atas 4 (empat) Tepo Padang dan Tepo Padang ini dikordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang memimpin seluruh anggota masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan desa secara gotong-royong, maka dengan demikian Tepo Padang dikatakan kesatuan Gotong-royong.

Koordinator dari Tepo Padang bukan jabatan adat tetapi adalah jabatan yang diangkat sendiri secara langsung oleh dewan Pemerintahan adat yang sewaktu-waktu pula dapat diganti, berarti bukanlah jabatan yang berpusat pada Tongkonan dan tidak sama dengan jabatan pemerintahan adat lainnya seperti Toparengnge’, Tobara’ dll. Seluruhnya berpusat atau bersumber dari masing-masing Tongkonan dengan dukngan dari semua keluarga yang lahir dan berasal dari Tongkonan itu yang sangat susah dipatahkan karena merupakan tanggung jawab bersama keluarga sekalipun jabatan itu hanya dijabat oleh satu orang anggota keluarga.

Tepo Padang tersebut di atas itu hanya merupakan satu daerah kesatuan abdi yang diketuai atau dikoordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang tidak terikat oleh adat yang dinamakan Ambe’ Saroan (ambe’=bapa; saroan=abdi).

Pemerintahan adat Toraja yang tersebut di atas sampai datangnya pemerintah Belanda masih tetap berlaku dan terpelihara yaitu dengan memberikan tugas kepada masing-masing Tongkonan, namun telah disesuaikan dengan susunan pemerintahan dari pemerintah Belanda dimana kelihatannya sangat serasi terutama yang menyangkut pembinaan masyarakat tetap memegang paranan penguasa-penguasa adat.

Terutama hal ini sangat nampak dalam hal pemakaian gelar jabatan pengusa lembang, Bua’ dan Penanian sebagai susunan pemerintahan adat dalam 3 (tiga) tingkatan diseragamkan yang kelihatannya sangat baik dan harmonis masing-masing:

  1. Daerah Lembang diganti dengan nama distrik atau sekarang dinamakan kecamatan.

Untuk gelar jabatan lembang yang sudah menjadi distrik atau kecamatan sekarang diganti dengan nama jabatan parengnge’.

Bahwa gelar Parengnge’ itu berasal dari kata/gelar To Parengnge’ yaitu adalah satu gelar yang sama dan berlaku umum di Tana Toraja yang artinya pemikul tanggung jawab, maka pemerintah Belanda mempergunakan itu sesuai dengan tugas dari penguasa distrik sebagai pemerintah yang memikul tanggung jawab dan tidak lagi sepenuhnya berstatus penguasa adat seperti sebelum pemerintahan Belanda.

  1. Daerah Bua’ masih tetap dipergunakan dengan nama daerah Bua’ sekalipun oleh pemerintahan Belanda menyebut dengan nama Onder Distrik (distrik bawahan), yang juga diperintah oleh seorang penguasa distrik bawahan dinamakan kepala distrik muda, dan daerah Bua’ ini sama statusnya dengan daerah dan pemerintahan Bua’ sebelum Belanda.
  2. Untuk daerah Penanian digantikan dengan nama desa atau kampung, hanya saja dewan pemerintahan adat Penanian tetap ada dan melaksanakaan tugas serta kewajibannya, karena To Parengnge’-To Parengnge’ itu berstatus otonom dalam pembinaan masyarakat.

Jadi hanya nama jabatan dan penguasa adat Penanian yaitu To Parengnge’ dan To Bara’ tetap ada namun oleh pemerintah Belanda mengangkat pula seorang kepala desa atau kepala kampung sebagai aparat langsung dari pemerintah Belanda yang bersama-sama dengan dwan adat penanian melaksanakan pembinaan masyarakat dalam satu-satu daerah Penanian atau kampung tersebut.

Tuan kepala distrik muda ataw kepala Bua’ membawahi 2 (dua) badan pemerintahan kampung atau desa masing-masing dewan pemerintahan To Parengnge’, To Bara’/Anak Patalo dan pemerintah kepala kampung atau kepala desa.

Dalam suatu daerah pemerintahan adat masing-masing ysb di atas masih terdapat lagi badan-badan lain yang termasuk dalam keanggotaan Kombongan Ada’ dengan mempunyai tugas tersendiri masing-masing yaitu petugas pembinaan kepercayaan/Aluk Todolo yaitu orang - orang yang mengurus dan membina tugas – tugas aluk masing-masing:

  1. Tominaa (imam/penghulu) Aluk Todolo sebagai pemimpin pembinaan Aluk Todolo yang terdiri atas :

1). Tominaa Burake (imam ahli, Biksu yang tidak pernah kawin)

2). Tominaa Sando (imam pembina)

3). Tominaa (imam pelaksana)

  1. To Indo’ atau Indo’ Padang yang memimpin jalannya pelaksanaan aluk Patuoan dan Aluk Tananan.
  2. To Mebalun atau To Ma’kayo yaitu orang yang bertugas mengatur jalannya upacara pemakaman orang mati serta membungkus orang mati.

Dalam urusan keyakinan Aluk Todolo masih dikenal nama Tominaa yang dinamakan Tominaa Burake Tambolang dan Tominaa Burake Tattiu’ atau dengan singkat Burake Tambolang dan Burake Tattiu’, yaitu Burake Tambolang berasal dari daerah bagian Selatan (Tallu Lembangna) dan Burake Tattiu’ dari daerah bagian Utara (Balimbing Kalua’) yang agak berbeda kedudukannya yaitu Burake Tattiu’ itu dapat kawin tetapi ada pula yang tidak kawin.

Seluruh jabatan dalam pemerintahan adat toraja tersebut di atas adalah jabatan-jabatan turun-temurun dari satu rumpun keluarga yang bersumber dari masing-masing Tongkonan.

Jabatan-jabatan adat tersebut sewaktu-waktu dapat diganti oleh turunan yang berhak atas jabatan itu karena jabatan itu merupakan jabatan warisan pada masing – masing keluarga.

Untuk jabatan Tominaa dan To Mebalun atau To ma’kayo adalah jabatan sampai mati/seumur hidup bagi yang memeluknya, yang penggantinya diadakan pada waktu upacara pemakaman dari orang itu akan dilangsungkan.

Upah atau jaminan pada tiap-tiap pejabat penguasa adat Toraja sebenarnya tidak mendapat upah tetap secara materil, tetapi upahnya atau gajinya itu hanyalah merupakan jaminan jasa semata-mata pada saat diperlukannya yang diberikan oleh anggota masyarakat secara sukarela dan gotong - royong.

Jaminan dengan bantuan jasa pada penguasa adat tersebut hanya pada saat mereka itu akan menyelesaikan pekerjaannya seperti mengolah sawah, membangun rumah dll, dikerjakan oleh masyarakat secara gotong-royong tanpa memberi upah pada masyarakat, yang mana upah demikian itu hanya bagi petugas-petugas pemerintahan adat tetapi kepada Tominaa dan To Indo’ serta To Mebalun menerima upahnya itu pada sat mereka menghadapi yugas dan kewajibannya yang diberikan dalam bentuk materiil yang sudah tertentu.

Di samping upah jasa yang sudah disebutkan di atas, pejabat-pejabat adat masih mempunyai kesempatan lain menerima upah atau balas jasa mereka memimpin masyarakat yaitu pemberian daging pada waktu adanyaupacara baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’ dimana dikurbankan babi dan kerbau, pada waktu itu penguasa-penguasa adat menentukan pembagian daging itu melalui petugas pembagi daging namanya panggawa Bamba, dengan ketentuan bahwa semua petugas adat dan penguasa adat mendapat bagian lebih besar dan tertentu dari pada bangsawan-bangsawan lain, dan inilah upah atau balas jasa mereka secara langsung dalam memimpin dan membina masyarakat, dan daging ini disamping sebagai upah juga berstatus sebagai penghargaan pada jasa mereka itu masing-masing.

Untuk upah petugas pembinaan Aluk Todolo yaitu Tominaa dan To Indo’ mendapau upah atau gaji pada waktu menghadapi satu upacara dimana daging dari tiap-tiap kurban ada bagian yang sudah tertentu menjadi haknya, dan pada waktu panen mereka itu mendapat sebenarnya 10 % dari hasil panen tahun itu yang dinamakan Bua Bungaran atau Bua Pangrakan (buah pertama pada panen itu) yang dibagi diantara semua Tominaa dan To Indo’ dalam daerah yang diliputinya.

Upah untuk petugas pemakaman yaitu Tomebalun atau To Ma’kayo di dapat pada setiap saat adanya orang mati dan sementara diupacarakan pemakamannya, dimana Tomebalun atau Toma’kato mengatur dan menjaga jalannya upacara pemakaman dengan mendapat upah daging – daging dari pada hewan-hewan yang dikurbankan pada saat itu disamping masih mendapat makanan dan uang dalam jumlah tertentu pada saat akan berakhirnya upacara pemakaman yang diberikan oleh seluruh keluarga dari yang mati yang dinamakan Saro Tomebalun.

Jabatan Tomebalun ini adalah jabatan yang banyak sekali mempunyai batas-batas pergaulannya di masyarakat umpamanya seorang Tomebalun tidak boleh menghadiri upacara Rambu Tuka’ serta tidak boleh mengerjakan sawah, hal ini terjadi pada beberapa daerah tertentu saja.

Sampai sekarang ini jabatan-jabatan adat dalam masyarakat Toraja masih tetap ada dan bekerja sama dengan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah RI yang kelihatannya sangat harmonis hubungannya karena setiap akan mengerjakan atau menyelesaikan satu masalah masyarakat dikerjakan dengan musyawarah .antara kedua badan dalam daerah kampung yaitu penguasa-penguasa adat dan pemerintahan yang ditunjuk oleh pemerintah.

Kecuali dalam hal aturan dan pembinaan agama sudah banyak berubah karena adanya desakan dan pengaruh dari agama Islam dan agama Kristen yang mempunyai petugas-petugas agama masing-masing.

Gelar Tomakaka, Bulo di A’pa’ dan Gora Tongkon

Sudah dikatakan di atas bahwa setiap jabatan dalam masyarakat Toraja masing-masing mempunyai gelar atau nama masing-masing seperti gelar Siambe’ pong, Tominaa, To Indo’ dll, disamping itu masih ada pula gelar golongan masyarakat yaitu gelar yang membatasi masyarakat pada umumnya dalam kedudukannya sebagai unsur golongan tertentu apakah di atas sebagai pejabat atau pemangku adat atau sebagai anggota masing-masing biasa yaitu:

1. gelar To Makaka (to=orang; makaka=lebih kakak) yaitu gelar golongan bangsawan pada umumnya baik dari kasta Tana' Bulaan maupun dari kasta Tana' Bassi.

2. gelar Bulo di A’pa’ (bulo= aur; a’pa’= disusun= tersusun) yaitu golongan masyarakat yang bukan bangsawan atau bukan berasal dari kasta Tana' Bulaan dan kasta Tana' Bassi berarti rakyat merdeka atau rakyat kebanyakan.

Di dalam masyarakat sering terungkap gelar – gelar ini yaitu seorang To parengngeatau To bara’ atau Anak patalo karena bukan dutujukan pada jabatannya maka gelar atau nama golongannya yang di To makaka.

Jadi gelar To makaka dan gelar Bulo Di a’pa’ bukan gelar pribadi atau gelar jabatan adat tetapi adalah golongan umum dalam masyarakat.

Namun demikian ada daerah kelompok adat yang dalam perkembangannya, pemerintahan adat di daerahnya mempergunakan gelat to Makaka itu sebagai gelar jabatan penguasa adat seperti pada daerah kelompok adat Seko Rongkong dan daerah adat Pitu Ulunna Salu sebagai jabatan yang tertinggi daerah Lembang daerah adat itu, dikarenakan oleh pengaruh dari struktur pemerintahan kerajaan yang memerintahnya kemudian seperti Seko Rongkong dari kerajaan Luwu’ dan Pitu Ulunna Salu Uma Tangdisapa’ Bela’ Tangdikatonanni dari kerajaan Mandar.

Bahwa struktur yang demikian itu sudah sejak dari beberapa puluh tahun yang lalu, demi penyesuain gelar jabatan dan susunan pemerintahan dalam kerajaan Luwu’ dan Mandar sebagai penguasa adat tingkat III Di Luwu’ dan tingkat II di Mandar, tetapi bentuk kemasyarakatan serta kebudayaannya masih kebudayaan Toraja, sekalipun telah ada pengaruh sedikit-sedikit disana-sini yang tidak berarti.

3. Gelar Gora Tongkon adalah gelar yang terjadi karena perkembangan pribadi dari seseorang yang bukan di dapat dari satu jabatan adat, yaitu untuk membedakan seorang ahli dalam masyarakat dengan penguasa-penguasa yang tidak ahli lainnya, tetapi saja yang bukan penguasa dari keturunan penguasa yang ahli yang mempunyai kemampuan luar biasa dan orang inilah penguasa yang digelari pula Gora Tongkon.

Penguasa adat atau orang yang deemikian itu adalah orang yang ditempatkan sebagai seorang penasihat agung dalam semua hal masyarakat, dan terakhir dimintai pendapat dalam memuruskan sesuatu hal dan sangat jarang ditolak.

Kata Gora Tongkon ini ada daerah adat yang mengatakan Tominaa Bakaa (imam istimewa).

Jabatan Gelar Gora Tongkon bukan jabatan adat atau berhubungan dengan tugas atau jabatan adat seperti gelar To Parengnge’ dll, tetapi Gora Tongkon itu sangat erat hubungannya dengan pribadi seseorang yang di dapat karena kemampuannya atau karyanya.

Seseorang yang bergelar Gora Tongkon tidak perlu mempunyai jabatan adat atau sebagai penguasa adat tetapi umumnya seorang Gora Tongkon itu adalah pemangku adat atau penguasa adat yang tentunya penguasa adat ini adalah penguasa adat yang baik dan disegani oleh masyarakat umum dan oleh masyarakatnya sendiri, umpamanya almarhum Puang Sangalla’ Laso’ Rinding adalah seorang pemangku adat Puang yang tergolong Gora Tongkon.

Seseorang yang bergelar Gora Tongkon itu memiliki kemampuan dalam beberapahal antara lain:

a. ahli bahasa dan sastrawan

b. ahli adat dan pemerintahan

c. ahli agama dan seniman

d. ahli sejarah dan kebudayaan

e. ahli bicara dan lain-lain

4 komentar:

  1. Shalom, saya tertarik dengan hal yg dibahas di atas. Bolehkah saya meminta sumber2 literatur yg berhubungan dengan hal2 di atas?? Krna saat ini saya sedang menulis skripsi tentang hal ini. Mohon balasannya. Kurre

    BalasHapus
  2. Pertanyaan saya bos,bisakah seorang mengadakan acara karu'dusan walaupun bukan dari golongan parwnnge' atau puang

    BalasHapus
  3. Boleh saya minta sumber literaturenya?

    BalasHapus
  4. What makes slots gambling and casino games so popular
    but even 남원 출장샵 if you are looking for slot machine games that work as well, Slot 과천 출장안마 machine 안성 출장마사지 games are not the only one 제주 출장마사지 that 대구광역 출장마사지 you'll have to pick.

    BalasHapus