Kamis, 26 Maret 2009

Rabu, 18 Maret 2009

AGAMA VS BUDAYA TORAJA

Bukan suatu hal baru bahwa budaya toraja menjadi suatu hal yang sering di pertentangkan,baik oleh para agamawan,pemuka adat,bahkan sampai masyarakat biasa pun sering mempertentangkan masalah budaya toraja(utamanya budaya rambu solo/pesta kematian) yang dinilai bertentangan dengan norma-norma agama. melalui kolom komentar, kami persilahkan kepada seluruh masyarakat toraja bahkan luar toraja untuk memberikan komentarnya ...tentunya dengan alasan yang riil.
atas komentar anda,diucapkan terima kasih!!!

Senin, 16 Maret 2009

FOTO ORANG TORAJA

Upacara adat

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

Rambu Solo

Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Tingkatan upacara Rambu Solo

Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

  1. Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  2. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  4. Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma’ tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’ Popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’ Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :

  1. Mapasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun kerbau yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba (Adu kaki)
  2. Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo seperti : Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’Katia, Pa’papanggan, Passailo dan Pa’pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa’pompang, Pa’dali-dali dan Unnosong.;
  3. Ma’tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.

Menjelang usainya Upacara Rambu Solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo’.

Rambu Tuka

Upacara adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran bisalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.

Untuk upacara adat Rambu Tuka’ diikuti oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’.

ADA’ DAN KOMBONGAN ADA’(Pemerintahan dan Badan Musyawarah Adat)

Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi menguasai seluruh Tana Toraja pada akhir tahun 1906 yaitu pada saat seluruh bangsawan dan penguasa adat Toraja sudah mengakui atau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda tersebut, tetapi sebelumnya seluruh daerah adat Toraja dikuasai oleh penguasa adat atau dikuasai / diperintah oleh bangsawan bangsawan yang system pemerintahannya dikatakan Ada’ dan orangnya bernama Tongkonan Ada’, dan daerah-daerah adat itu berdiri sendiri otonom, namun semuanya terikat dalam satu perikatan adat besar (federasi) yang dinamakan Kombongan Ada’ dan Kombongan Ada’ yang besar dan tertinggi itu dinamakan Kombongan Ada’ Basse Lepongan Bulan Limbu Kalua’na Tana Matarik Allo (badan musyawarah perikatan lepongan Bulan atau Tana Toraja).

Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo atau Tana Toraja terdiri atas 3 (tiga) daerah adat besar sejak dari dahulu yaitu sejak terciptanya Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk Sanda Pitunna/Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu 7777) dari Banua Puan Marinding yaitu mula pertamanya terbaginya Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo masing-masing;

  1. Daerah Adat pada bagian Timur yang dinamakan Daerah Adat Padang di Ambe’i atau Daerah Adat pekamberan
  2. Daerah Adat pada bagian tengah yang dinamakan Daerah Adat Padang di Puangngi atau Daerah Adat Kapuangan
  3. Daerah Adat pada bagian Barat yang dinamakan Daerah Adat Padang di Ma’dikai atau Daerah Adat Kama’dikaan

Ketiga Daerah Adat besar itu masing-masing berdiri sendiri dan berdaulat ke dalam tetapi keluar merupakan satu kesatuan dalam persekutuan Kombongan Basse Lepongan Bulan yang ketiganya mempunyai kedudukan yang sama (lihat struktur pemerintah adat Lepongan Bulan terlampir).

Tiap-tiap Daerah Adat itu masih terbagi atas beberapa kelompok adat yang namanya Kombongan Ada’, umpamanya Daerah Adat Pekamberan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada’ Ambe’ dan Daerah Adat Kapuangan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada’ Puang serta Daerah Adat Kama’dikaan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada’ Ma’dika.

Tiap-tiap Kombongan Ada’ itu mempunyai pemerintahan kecil sebagai pemerintahan yang juga berdaulat ke dalam yang bernama Lembang (berasal dari kata Lembang=perahu) yang artinya mempunyai kesatuan dan penanggung jawab sendiri yaitu satu daerah tertentu dimana lembang ini sudah diperintah oleh seorang penguasa lembang yang masing-masing Daerah Adat mempergunakan gelar masing-masing sesuai pembahagian.

- Puang lembang untuk Daerah Adat Kapuangan

- Ambe’ Lembang untuk Daerah Adat Pekamberan

- Ma’dika Lembang untuk Daerah Adat Kama’dikaan

Masing-masing daerah lembang tersebut di atas itu mempunyai pula badan musyawarah yang membantu penguasa adat lembang yang dinamakan Kombongan Lembang-Lembang untuk tiap Daerah Adat, tetapi ke dalam lembang dikatakan Kombongan Lembang.

Keputusan musyawarah lembang adalah merupakan garis pemerintahan dari pada penguasa adat lembang masing-masing Daerah Adat atau Kelompok adat.

Di bawah pemerintahan lembang masih terdapat beberapa daerah kerja yang merupakan pembantu pelaksana kerja dari pada lembang dan daerah bagian pemerintahan kerja atau wilayah ini dinamakan daerah Bua’ yang dikuasai oleh seorang penguasa adat Bua’ dan langsung bertanggung jawab kepada lembang, yang dalam tiap lembang itu terdiri beberapa daerah Bua’ sesuai dengan kepentingannya. Ada kalanya 2 atau 3 daerah Bua’ untuk satu daerah lembang.

Pemerintah dari daerah Bua’ itu adalah penguasa Bua’ yang masing-masing Daerah Adat sebagai berikut:

- daerah Bua' dari daerah Lembang kapuangan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Puang Bua’

- daerah Bua' dari daerah Lembang pekamberan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Ambe’ Bua’

- daerah Bua' dari daerah Lembang Kama’dikaan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Ma’dika Bua’

Dari daerah Bua' ini di dalamnya masih terdiri dari beberapa daerah dengan pemerintahan wilayah kecil yang seolah-olah desa pada waktu sekarang dan dikoordinir oleh Bua’, dan daerah ini bernama daerah penanian, yaitu tiap-tiap Bua’ terdiri dari beberapa penanian yang tiap Penanian ini diperintah oleh satu badan pemerintahan adat yang umumnya terdiri dari 4 (empat) anggota Toparengnge’, salah seorang dari Toparengnge’ itu sebagai ketua.

Inilah dewan pemerintahan adat yang berlaku umum di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan sejak dahulu kala, dan gelar Tongkonan Parengnge’ ini berlaku pada semua Daerah Adat, yang sebagai diketahui bahwa gelar Toparengnge’ ini adalah gelar yang disebarkan oleh penguasa Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu dari Banua Puang Marinding pada waktu pembagian Daerah Adat.

To Parengnge; artinya pemikul tanggung jawab.

Di dalam satu daerah penanian terdapat pula pembantu-pembantu pemerintahan adat yang masing-masing Daerah Adatnya memberi nama masing-masing sesuai dengan kepentingannya dan keadaan setempat seperti ada yang menamainya To Bara’, ada pula yang menamainya Anak patalo (to=orang; bara’=angin ribut yang tak dapat ditahan; anak=anak; patalo=menang sendiri), dan orang - orang inilah yang mendampingi To Parengnge’ dalam membina masyarakat dan pemerintahan adat daerah Penanian.

Untuk ketua-ketua dewan adat penanian juga ada nama atau gelar masing-masing daerah adat seperti daerah adat Lembang, Bua’ dan untuk Daerah Penanian sebagai berikut:

- daerah adat Kapuangan memakai pula gelar untuk ketua dewan adat Penanian

- daerah adat Kama’dikaan memakai pula gelar Ma’dika untuk ketua dewan adat Penanian

- daerah adat Pekamberan memakai pula gelar To Parengnge’ dan Sokkong Bayu untuk ketua dewan adat penanian

Seluruh masalah yang terjadi dalam daerah Penanian harus setahu untuk ketua dewan adat Penanian kemidian diteruskan kepada penguasa Bua’ dan seterusnya kepada penguasa adat Lembang sebagai pemerintahan adat yang tertinggi ialah penguasa lembang, Puang lembang, Ambe’ Lembang dan Ma’dika Lembang.

Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk di Tana Toraja, maka tetap mempergunakan penguasa adat yang tertinggi ialah pemerintahan lembang namun namanya dirobah tetapi statusnya tetap sebelum datangnya pemerintah Belanda.

Daerah Penanian yang sudah disebutkan di atas itu masih terdiri atas 4 (empat) daerah kelompok kerja atau kesatuan abdi yang dinamakan Tepo Padang (tepo=seperempat; padang=tanah) ada pula yang mengatakan tepo Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, jadi seluruh daerah penanian harus terbagi atas 4 (empat) Tepo Padang dan Tepo Padang ini dikordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang memimpin seluruh anggota masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan desa secara gotong-royong, maka dengan demikian Tepo Padang dikatakan kesatuan Gotong-royong.

Koordinator dari Tepo Padang bukan jabatan adat tetapi adalah jabatan yang diangkat sendiri secara langsung oleh dewan Pemerintahan adat yang sewaktu-waktu pula dapat diganti, berarti bukanlah jabatan yang berpusat pada Tongkonan dan tidak sama dengan jabatan pemerintahan adat lainnya seperti Toparengnge’, Tobara’ dll. Seluruhnya berpusat atau bersumber dari masing-masing Tongkonan dengan dukngan dari semua keluarga yang lahir dan berasal dari Tongkonan itu yang sangat susah dipatahkan karena merupakan tanggung jawab bersama keluarga sekalipun jabatan itu hanya dijabat oleh satu orang anggota keluarga.

Tepo Padang tersebut di atas itu hanya merupakan satu daerah kesatuan abdi yang diketuai atau dikoordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang tidak terikat oleh adat yang dinamakan Ambe’ Saroan (ambe’=bapa; saroan=abdi).

Pemerintahan adat Toraja yang tersebut di atas sampai datangnya pemerintah Belanda masih tetap berlaku dan terpelihara yaitu dengan memberikan tugas kepada masing-masing Tongkonan, namun telah disesuaikan dengan susunan pemerintahan dari pemerintah Belanda dimana kelihatannya sangat serasi terutama yang menyangkut pembinaan masyarakat tetap memegang paranan penguasa-penguasa adat.

Terutama hal ini sangat nampak dalam hal pemakaian gelar jabatan pengusa lembang, Bua’ dan Penanian sebagai susunan pemerintahan adat dalam 3 (tiga) tingkatan diseragamkan yang kelihatannya sangat baik dan harmonis masing-masing:

  1. Daerah Lembang diganti dengan nama distrik atau sekarang dinamakan kecamatan.

Untuk gelar jabatan lembang yang sudah menjadi distrik atau kecamatan sekarang diganti dengan nama jabatan parengnge’.

Bahwa gelar Parengnge’ itu berasal dari kata/gelar To Parengnge’ yaitu adalah satu gelar yang sama dan berlaku umum di Tana Toraja yang artinya pemikul tanggung jawab, maka pemerintah Belanda mempergunakan itu sesuai dengan tugas dari penguasa distrik sebagai pemerintah yang memikul tanggung jawab dan tidak lagi sepenuhnya berstatus penguasa adat seperti sebelum pemerintahan Belanda.

  1. Daerah Bua’ masih tetap dipergunakan dengan nama daerah Bua’ sekalipun oleh pemerintahan Belanda menyebut dengan nama Onder Distrik (distrik bawahan), yang juga diperintah oleh seorang penguasa distrik bawahan dinamakan kepala distrik muda, dan daerah Bua’ ini sama statusnya dengan daerah dan pemerintahan Bua’ sebelum Belanda.
  2. Untuk daerah Penanian digantikan dengan nama desa atau kampung, hanya saja dewan pemerintahan adat Penanian tetap ada dan melaksanakaan tugas serta kewajibannya, karena To Parengnge’-To Parengnge’ itu berstatus otonom dalam pembinaan masyarakat.

Jadi hanya nama jabatan dan penguasa adat Penanian yaitu To Parengnge’ dan To Bara’ tetap ada namun oleh pemerintah Belanda mengangkat pula seorang kepala desa atau kepala kampung sebagai aparat langsung dari pemerintah Belanda yang bersama-sama dengan dwan adat penanian melaksanakan pembinaan masyarakat dalam satu-satu daerah Penanian atau kampung tersebut.

Tuan kepala distrik muda ataw kepala Bua’ membawahi 2 (dua) badan pemerintahan kampung atau desa masing-masing dewan pemerintahan To Parengnge’, To Bara’/Anak Patalo dan pemerintah kepala kampung atau kepala desa.

Dalam suatu daerah pemerintahan adat masing-masing ysb di atas masih terdapat lagi badan-badan lain yang termasuk dalam keanggotaan Kombongan Ada’ dengan mempunyai tugas tersendiri masing-masing yaitu petugas pembinaan kepercayaan/Aluk Todolo yaitu orang - orang yang mengurus dan membina tugas – tugas aluk masing-masing:

  1. Tominaa (imam/penghulu) Aluk Todolo sebagai pemimpin pembinaan Aluk Todolo yang terdiri atas :

1). Tominaa Burake (imam ahli, Biksu yang tidak pernah kawin)

2). Tominaa Sando (imam pembina)

3). Tominaa (imam pelaksana)

  1. To Indo’ atau Indo’ Padang yang memimpin jalannya pelaksanaan aluk Patuoan dan Aluk Tananan.
  2. To Mebalun atau To Ma’kayo yaitu orang yang bertugas mengatur jalannya upacara pemakaman orang mati serta membungkus orang mati.

Dalam urusan keyakinan Aluk Todolo masih dikenal nama Tominaa yang dinamakan Tominaa Burake Tambolang dan Tominaa Burake Tattiu’ atau dengan singkat Burake Tambolang dan Burake Tattiu’, yaitu Burake Tambolang berasal dari daerah bagian Selatan (Tallu Lembangna) dan Burake Tattiu’ dari daerah bagian Utara (Balimbing Kalua’) yang agak berbeda kedudukannya yaitu Burake Tattiu’ itu dapat kawin tetapi ada pula yang tidak kawin.

Seluruh jabatan dalam pemerintahan adat toraja tersebut di atas adalah jabatan-jabatan turun-temurun dari satu rumpun keluarga yang bersumber dari masing-masing Tongkonan.

Jabatan-jabatan adat tersebut sewaktu-waktu dapat diganti oleh turunan yang berhak atas jabatan itu karena jabatan itu merupakan jabatan warisan pada masing – masing keluarga.

Untuk jabatan Tominaa dan To Mebalun atau To ma’kayo adalah jabatan sampai mati/seumur hidup bagi yang memeluknya, yang penggantinya diadakan pada waktu upacara pemakaman dari orang itu akan dilangsungkan.

Upah atau jaminan pada tiap-tiap pejabat penguasa adat Toraja sebenarnya tidak mendapat upah tetap secara materil, tetapi upahnya atau gajinya itu hanyalah merupakan jaminan jasa semata-mata pada saat diperlukannya yang diberikan oleh anggota masyarakat secara sukarela dan gotong - royong.

Jaminan dengan bantuan jasa pada penguasa adat tersebut hanya pada saat mereka itu akan menyelesaikan pekerjaannya seperti mengolah sawah, membangun rumah dll, dikerjakan oleh masyarakat secara gotong-royong tanpa memberi upah pada masyarakat, yang mana upah demikian itu hanya bagi petugas-petugas pemerintahan adat tetapi kepada Tominaa dan To Indo’ serta To Mebalun menerima upahnya itu pada sat mereka menghadapi yugas dan kewajibannya yang diberikan dalam bentuk materiil yang sudah tertentu.

Di samping upah jasa yang sudah disebutkan di atas, pejabat-pejabat adat masih mempunyai kesempatan lain menerima upah atau balas jasa mereka memimpin masyarakat yaitu pemberian daging pada waktu adanyaupacara baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’ dimana dikurbankan babi dan kerbau, pada waktu itu penguasa-penguasa adat menentukan pembagian daging itu melalui petugas pembagi daging namanya panggawa Bamba, dengan ketentuan bahwa semua petugas adat dan penguasa adat mendapat bagian lebih besar dan tertentu dari pada bangsawan-bangsawan lain, dan inilah upah atau balas jasa mereka secara langsung dalam memimpin dan membina masyarakat, dan daging ini disamping sebagai upah juga berstatus sebagai penghargaan pada jasa mereka itu masing-masing.

Untuk upah petugas pembinaan Aluk Todolo yaitu Tominaa dan To Indo’ mendapau upah atau gaji pada waktu menghadapi satu upacara dimana daging dari tiap-tiap kurban ada bagian yang sudah tertentu menjadi haknya, dan pada waktu panen mereka itu mendapat sebenarnya 10 % dari hasil panen tahun itu yang dinamakan Bua Bungaran atau Bua Pangrakan (buah pertama pada panen itu) yang dibagi diantara semua Tominaa dan To Indo’ dalam daerah yang diliputinya.

Upah untuk petugas pemakaman yaitu Tomebalun atau To Ma’kayo di dapat pada setiap saat adanya orang mati dan sementara diupacarakan pemakamannya, dimana Tomebalun atau Toma’kato mengatur dan menjaga jalannya upacara pemakaman dengan mendapat upah daging – daging dari pada hewan-hewan yang dikurbankan pada saat itu disamping masih mendapat makanan dan uang dalam jumlah tertentu pada saat akan berakhirnya upacara pemakaman yang diberikan oleh seluruh keluarga dari yang mati yang dinamakan Saro Tomebalun.

Jabatan Tomebalun ini adalah jabatan yang banyak sekali mempunyai batas-batas pergaulannya di masyarakat umpamanya seorang Tomebalun tidak boleh menghadiri upacara Rambu Tuka’ serta tidak boleh mengerjakan sawah, hal ini terjadi pada beberapa daerah tertentu saja.

Sampai sekarang ini jabatan-jabatan adat dalam masyarakat Toraja masih tetap ada dan bekerja sama dengan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah RI yang kelihatannya sangat harmonis hubungannya karena setiap akan mengerjakan atau menyelesaikan satu masalah masyarakat dikerjakan dengan musyawarah .antara kedua badan dalam daerah kampung yaitu penguasa-penguasa adat dan pemerintahan yang ditunjuk oleh pemerintah.

Kecuali dalam hal aturan dan pembinaan agama sudah banyak berubah karena adanya desakan dan pengaruh dari agama Islam dan agama Kristen yang mempunyai petugas-petugas agama masing-masing.

Gelar Tomakaka, Bulo di A’pa’ dan Gora Tongkon

Sudah dikatakan di atas bahwa setiap jabatan dalam masyarakat Toraja masing-masing mempunyai gelar atau nama masing-masing seperti gelar Siambe’ pong, Tominaa, To Indo’ dll, disamping itu masih ada pula gelar golongan masyarakat yaitu gelar yang membatasi masyarakat pada umumnya dalam kedudukannya sebagai unsur golongan tertentu apakah di atas sebagai pejabat atau pemangku adat atau sebagai anggota masing-masing biasa yaitu:

1. gelar To Makaka (to=orang; makaka=lebih kakak) yaitu gelar golongan bangsawan pada umumnya baik dari kasta Tana' Bulaan maupun dari kasta Tana' Bassi.

2. gelar Bulo di A’pa’ (bulo= aur; a’pa’= disusun= tersusun) yaitu golongan masyarakat yang bukan bangsawan atau bukan berasal dari kasta Tana' Bulaan dan kasta Tana' Bassi berarti rakyat merdeka atau rakyat kebanyakan.

Di dalam masyarakat sering terungkap gelar – gelar ini yaitu seorang To parengngeatau To bara’ atau Anak patalo karena bukan dutujukan pada jabatannya maka gelar atau nama golongannya yang di To makaka.

Jadi gelar To makaka dan gelar Bulo Di a’pa’ bukan gelar pribadi atau gelar jabatan adat tetapi adalah golongan umum dalam masyarakat.

Namun demikian ada daerah kelompok adat yang dalam perkembangannya, pemerintahan adat di daerahnya mempergunakan gelat to Makaka itu sebagai gelar jabatan penguasa adat seperti pada daerah kelompok adat Seko Rongkong dan daerah adat Pitu Ulunna Salu sebagai jabatan yang tertinggi daerah Lembang daerah adat itu, dikarenakan oleh pengaruh dari struktur pemerintahan kerajaan yang memerintahnya kemudian seperti Seko Rongkong dari kerajaan Luwu’ dan Pitu Ulunna Salu Uma Tangdisapa’ Bela’ Tangdikatonanni dari kerajaan Mandar.

Bahwa struktur yang demikian itu sudah sejak dari beberapa puluh tahun yang lalu, demi penyesuain gelar jabatan dan susunan pemerintahan dalam kerajaan Luwu’ dan Mandar sebagai penguasa adat tingkat III Di Luwu’ dan tingkat II di Mandar, tetapi bentuk kemasyarakatan serta kebudayaannya masih kebudayaan Toraja, sekalipun telah ada pengaruh sedikit-sedikit disana-sini yang tidak berarti.

3. Gelar Gora Tongkon adalah gelar yang terjadi karena perkembangan pribadi dari seseorang yang bukan di dapat dari satu jabatan adat, yaitu untuk membedakan seorang ahli dalam masyarakat dengan penguasa-penguasa yang tidak ahli lainnya, tetapi saja yang bukan penguasa dari keturunan penguasa yang ahli yang mempunyai kemampuan luar biasa dan orang inilah penguasa yang digelari pula Gora Tongkon.

Penguasa adat atau orang yang deemikian itu adalah orang yang ditempatkan sebagai seorang penasihat agung dalam semua hal masyarakat, dan terakhir dimintai pendapat dalam memuruskan sesuatu hal dan sangat jarang ditolak.

Kata Gora Tongkon ini ada daerah adat yang mengatakan Tominaa Bakaa (imam istimewa).

Jabatan Gelar Gora Tongkon bukan jabatan adat atau berhubungan dengan tugas atau jabatan adat seperti gelar To Parengnge’ dll, tetapi Gora Tongkon itu sangat erat hubungannya dengan pribadi seseorang yang di dapat karena kemampuannya atau karyanya.

Seseorang yang bergelar Gora Tongkon tidak perlu mempunyai jabatan adat atau sebagai penguasa adat tetapi umumnya seorang Gora Tongkon itu adalah pemangku adat atau penguasa adat yang tentunya penguasa adat ini adalah penguasa adat yang baik dan disegani oleh masyarakat umum dan oleh masyarakatnya sendiri, umpamanya almarhum Puang Sangalla’ Laso’ Rinding adalah seorang pemangku adat Puang yang tergolong Gora Tongkon.

Seseorang yang bergelar Gora Tongkon itu memiliki kemampuan dalam beberapahal antara lain:

a. ahli bahasa dan sastrawan

b. ahli adat dan pemerintahan

c. ahli agama dan seniman

d. ahli sejarah dan kebudayaan

e. ahli bicara dan lain-lain

Pengaruh – pengaruh yang masuk di Tondok Lepongan Bulan

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Tondok Lepongan Bulan sejak dulu tidak pernah diperintah oleh seorang Raja atau Penguasa secara langsung seperti di daerah lain, tetapi Tondok Lepongan Bulan adalah negeri yang berdiri sendiri dalam bentuk suatu kesatuan atau Rumpun Adat dan tata kehidupan suku Toraja.

Mungkin karena keadaan yang demikian menyebabkan Kesatuan Negeri Tondok Lepongan Bulan ini tidak menjamin kelangsungan ketenangannya karena sangat mudah dimasuki oleh pengaruh dari luar.Dlm sejarah Toraja beberapa kali pengaruh luar masuk ke Toraja terutama ketika kerajaan – kerajaan di sekitar mulai berkembang. Sesudah Patta La Bantan gagal mempersatukan Tondok Lepongan Bulan dalam pemerintahan Monarchi dengan ajaran Aluk Sanda Saratu', maka sejak itu silih berganti pengaruh – pengaruh dari luar masuk ke Toraja.

1. Datangnya Puang Rade’ dan pengaruh – pengaruh Hindu Jawa

Menurut sejarah Toraja, sekitar abad ke-15, sejumlah pedagang – pedagang barang porselen, tenunan dan berbagai perhiasan emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan. Mereka melalui daerah selatan dan pedagang pertama yang terkenal adalah pedagang besar Jawa yang bernama Puang Rade’. Orang inilah yang mengajari masyarakat Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh bangsawan Toraja, dan mulai saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan.

Salah satu bentuk pengaruh Hindu Jawa dalam masyarakat Toraja adalah bentuk keris di Toraja yang mirip dengan keris asal Jawa. Hal ini terlihat jelas pada bentuk hulu keris yang berbentuk patung Hindu atau Gambar Naga. Mulanya keris ini bernama Rade’, tetapi setelah orang Bugis masuk ke Toraja maka keris kemudian dikenal dengan nama Gajang atau dalam bahasa Toraja Gayang (Gajang = Tikam). Kedatangan pedagang Jawa ini pula membawa pengaruh pada beberapa sendi kebudayaan lain seperti tarian, disamping mempengaruhi cara pemerintahan di daerah Adat Kapuangan.

Puang Rade’ banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan bangsawan di Toraja yang lana kelamaan turut mengambil peranan dalam masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berlangsung lama karena persaingan dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja setelah mendengar bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas. Nama Puang Rade’ ini adalah pemberian orang Toraja yang berasal dari kata Raden sebagai gelar bangsawan di Tanah Jawa dimana Puang Rade’ ini tiba di daerah adat Kapuangan. Setelah pedagang Jawa terdesak oleh kedatanga pedagang Bugis, maka pedagang Jawa tidak terdengar lagi pada permulaan abad ke-16.

2. Masuknya pedagang – pedagang Bugis dan pendudukan pasukan Arung Palakka

Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’ karena mengetahui bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa.

Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.

Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis ini, dan menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya, maka ada beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.

Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.

Dengan meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila' Allo yang terus mengadakan arena perjudian, akibatnya mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila' Allo.

Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Untuk maksud ini, Pong Kalua’ berpura – pura mengawini adik Pakila' Allo, karena dapat dengan mudah mengikuti jejak Pakila' Allo sementara itu ia pun membentuk persekutuan dengan orang lain untuk membunuh Pakila' Allo. Hingga suatu waktu mereka berusaha membunuh Pakila' Allo, akan tetapi Pakila' Allo hanya luka ringan. Kemudian Pong Kalua’ membuatkan obat yang telah dicampur dengan racun (Ipo), dan ditaruh di atas luka Pakila' Allo sehingga Pakila' Allo tewas seketika. Setelah Pakila' Allo meninggal, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.

Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :

1) Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu

2) Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira

3) Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.

Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.

Di daerah Bambapuang, seluruh pemimpin dan anggota Topadatindo mengikrarkan sebuah janji dan sumpah yang disebut Basse Kasalle :

Tangla kendek penduan pentallun to Bone la ma’takinan la’bo’ ma’tetangan mataran, apa mintu’na mataranna sia pabenga’na lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang lili’na Tondok Lepongan Bulan dst......”

“Orang – orang Bone tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst.......”

Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan, maka kekacauan di Tondok Lepongan Bulan berakhir dan disebut Manda’mi salli’na Tondok Lepongan Bulan, Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo” artinya pintu Tondok Lepongan Bulan telah tertutup rapat dari gangguan luar. Pembacaan ikrar ini diikuti dengan Upacara kemenangan Topadatindo Tomisa’ pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne’ Tikuali dari Ba’tan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi oleh Banggai dari Salu.

Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “

“Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”

Artinya :

“Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”

Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo. Sejak itu hubungan kedua daerah pulih kembali dan pada awal abad ke-18 pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang saudara dan penjualoan budak dari yang kuatu ditukar dengan senjata api.

Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Andi Guru”.

Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut adalah dalam rangka perang Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 – 1890 , yaitu perang terbuka antara pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari Luwu’ dimana masing-masing bersekutu dengan bangsawan di Toraja. Setelah Perang Kopi berakhir tanpa ada yang dinyatakan kalah, sebagian Ande Guru kembali termasuk Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti perang saudara termasuk Wa’ Situru’ bahkan ada yang kemudian menikah dengan bangsawan Toraja. Perang saudara yang tiada henti – hentinya ini berlangsung sampai masuknya tentara kolonial Belanda pada tahun 1906 dan bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.

3. Masuknya Pemerintahan Kolonial Belanda

Setelah Belanda menaklukkan seluruh kerajaan yang ada di sekitar Tondok Lepongan Bulan dan terakhir kerajaan Luwu’ di Palopo, maka ekspedisi tentara Kolonial Belanda akhirnya masuk ke Toraja dan tiba di Rantepao pada bulan Maret 1906. Namun demikian kedatangan Belanda mendapat perlawanan sengit dari sebagian bangsawan Toraja antara lain :

a) Siambe’ Pong Tiku

b) Siambe’ Pong Simpin

c) Puang Laso’ Rinding

d) Puang Alla’

e) Wa’ Saruran

f) Bombing

g) Dll

Sebelum tentara Kolonial Belanda memasuki Tondok Lepongan Bulan, seluruh bangsawan Toraja mulanya mengadakan persetujuan untuk menghentikan perang saudara dan melawan kedatangan Belanda yang berkulit putih dan bermata kucing. Musyawarah tersebut diadakan di Tongkonan Buntu Pune, dekat Rantepao lalu dilanjutkan di Kalambe’. Akan tetapi karena sesuatu dan lain hal maka timbul perpecahan sehingga perlawanan diadakan oleh masing-masing bangsawan.

Adapun yang paling terakhir ditaklukkan Kolonial Belanda adalah Siambe’ Pong Tiku dari Pangala’. Beliau ditangkap pada suatu benteng di daerah Baruppu pada tanggal 30 Juni 1907 dan ditahan di Markas (Tangsi) Tentara Belanda di Rantepao. Pada tanggal 10 Juli 1907, Siambe’ Pong Tiku ditembak mati di pinggir sungai Sa’dan (Singki’) ketika sedang mandi. Pongtiku adalah seorang pahlawan dan kini telah menjadi seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang melawan tentara Kolonial Belanda.

Pendudukan Belanda di Toraja sangat lancar karena tetap memberikan kekuasaan adat kepada tiap bangsawan penguasa daerah adat, namun harus tunduk kepada Kontroleur Belanda sebagai Kepala Daerah Onder Afdeeling.

Sejak pendudukannya, Belanda membagi daerah Toraja dalam 3 daerah yang digabungkan dengan satu daerah lain dalam bentuk pemerintahan OnderAfdeeling masing-masing :

1) Onder Afdeeling Enrekang untuk bagian selatan Tondok Lepongan Bulan

2) Onder Afdeeling Mamasa untuk bagian barat Tondok Lepongan Bulan

3) Ander Afdeeling Makale Rantepao untuk bagian utara dan timur Tondok Lepongan Bulan.

Masing-masing Onder Afdeeling itu kemudian digabungkan pada satu Afdeeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen sebagai Kepala Afdeeling di atas.

Penggabungan tersebut adalah :

1) Onder Afdeeling Enrekang digabung dengan Afdeeling Pare – Pare

2) Onder Afdeeling Mamasa digabung dengan Afdeeling Mandar

3) Onder Afdeeling Makale Rantepao digabung dengan daerah lain seperti Basse Sangtempe’, Seko dan Rongkong ke dalam Afdeeling Luwu’.

NAMA DAN SEJARAH SINGKAT TORAJA

A. NAMA

Sebelum kata Toraja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja, sebenarnya dahulunya adalah suatu negeri yang berdiri sendiri yang dinamai TONDOK LEPONGAN BULAN TANA MATARIK ALLO (Tondok = Negeri, lepongan = kebulatan = kesatuan,bulan = bulan, tana = negeri,matarik = berbentuk, allo = matahari), artinya Negeri yang betuk pemerintahan dan Kemasyarakatannya merupakan Kesatuan yang bundar / bulat bagaikan bentuknya Bulan dan Matahari.

Nama Lepongan Bulan atau Matarik Allo tersebut bersumber dari terbentuknya negeri itu dalam satu kebulatan / kesatuan Tata Masyarakat yang terbentuk berdasarkan :

  1. Suatu negeri yang terbentuk atas adanya Persekutuan dan Kebulatan berdasarkan pada suatu agama / Keyakinan yang dinamakan Aluk Todolo, yang mempergunakan suatu macam aturan yang bersumber / berpancar dari suatu sumber yaitu dari Banua Puan Marinding yang dikenal dengan Aluk Piting Sa’bu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aturan/Agama 7777).
  2. Suatu negeri yang dibentuk oleh beberapa daerah adat tetapi menggunakan satu dasar adat dan budaya yang berpancar / bersumber dari suatu sumber yang berpancar atau bersinar seperti sinarnya Bulan atau matahari.
  3. Suatu kesatuan Negeri yang terletak pada bagian utara di pegunungan Sulawesi Selatan yang dibentuk oleh Satu Suku yaitu Suku Toraja sekarang ini.

Sedang nama TORAJA mulai terdengar sejak adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan negeri – negri Bugis atau di luar Tondok Lepongan Bulan, yang kemudian oleh Y. Kruit dan A. Adriani mempergunakan nama Toraja, itupun disadur dari kata To Riaja (To = Orang, Riaja = sebelah di atas bagian utara) karena sehubungan dengan letak dari Tondok Lepongan Bulan di bagian atas pada sebelah utara dari salah satu Kerajaan Bugis yaitu Sidenreng, karena kata To Riaja diberikan oleh orang Bugis Sidenreng dahulu kala.

Nama atau kata Toraja itu sebenarnya mulai terdengar luas pada permulaan abad ke-17 yaitu pada waktu Tondok Lepongan Bulan sudah mengadakan hubungan dengan Kerajaan – kerajaan di sekitarnya antara lain : Kerajaan Bugis Sidenreng, Bone dan Luwu’. Selain itu, beberapa budayawan Toraja mengatakan bahwa kata TORAJA berasal dari kata TO RAJANG (To = Orang, Rajang = Barat), berhubung karena Kerajaan Luwu’ terletak di sebelah Timur dari Tondok Lepongan Bulan dan Tondok Lepongan Bulan terletak di sebelah Barat dari Kerajaan Luwu’. Hal ini terkandung dalam syair – syair sastra Toraja yang banyak menyebut Kerajaan Luwu’ sebagai “Kadatuan Matallo” (Kerajaan sebelah timur) dan sebaliknya Toraja dinamakan “Kadatuan Matampu’ “ (Matampu’ = Barat) artinya Kerajaan di sebelah Barat. Demikian pula dengan orang dari Kerajaan Luwu’ dinamakan “To Wara’ “ (Wara’ = Timur), dan sebaliknya penduduk sebelah barat dinamakan To Rajang oleh orang Luwu’. Sampai saat ini orang Toraja masih menyebut orang Luwu’ sebagai To Wara’.

Di samping bersumber dari kedua kata tersebut, ada pula yang berpendapat bahwa nama Toraja berasal dari nama seorang bangsawan (Lakipadada) yang berasal dari Tondok Lepongan Bulan yang datang ke Gowa pada akhir abad ke-13. Dalam sejarah Toraja, Puang Lakipadada ini adalah seorang cucu dari Puang Tomanurun Tamboro’ Langi’ atau anak dari Puang Sanda Boro dari Tongkonan Batu Borong bagian Selatan Tondok Lepongan Bulan yang pergi mengembara, yang dalam sejarah dan mithos, Lakipadada dikatakan bahwa ia pergi mencari hidup abadi dan kemudian terdampar di Kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak dikenal dan tidak diketahui dari mana asalnya, hanya saja pada diri Lakipadada ada tanda – tanda yang meyakinkan bahwa ia adalah keturunan raja atau berasal dari satu kerajaan besar.

Pendapat umum ini Gowa mengatakan bahwa turunan/anak raja yang tidak dikenal itu berasal dari sebelah Timur, sesuai dengan mitos asal raja – raja di Sulawesi Selatan, maka dengan demikian menyebut Puang Lakipadada itu dengan nama Tau raya (tau = orang, raya = timur, bahasa Makassar), dan kemudian menyebut pula tempat asalnya atau negeri asalnya Tana Tau Raya ( tana = negeri, tau = orang, raya = timur). Berhubung Puang Lakipadada ini berasal dari Tondok Lepongan Bulan, maka nama Tondok Lepongan Bulan pun dinamai Tana Tau Raya yang kemudian menjadi Tana Toraja.

Pendapat lain ada pula yang mengatakan bahwa sesuai dengan pengakuan dari sebahagian besar raja – raja di Sulawesi Selatan mengatakan dan mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tana Toraja, berarti tempat asal dari nenek moyang raja – raja, dan sehubungan dengan mithos asal raja – raja dari sebelah Timur di atas, maka sementara orang menyebut Tana To Raja ( tana = negeri, To = orang, raja = raja)

Berdasarkan pendapat – pendapat di atas, dapat dimengerti mengapa Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dinamai Tana Toraja. Demikanlah seterusnya, sehingga kata Toraya atau Toraja ini banyak dipakai sebagai nama tempat atau batas – batas daerah Tondok Lepongan Bulan dikemudian hari seperti :

- Kampung Raya di daerah sebelah Timur di daerah Basse Sangtempe’

- Salu Toraa di daerah perbatasan Seko Rongkong dan Makale Rantepao (salu sungai)

- Padang Toraa di daerah Seko Rongkong (padang = tanah = daerah)

- Angge Raya suatu perbatasan di daerah Tallu Batupapan dan Enrekang (angge = batas),,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

B. Sejarah Singkat

1. Zaman Puba Toraja

Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak tertulis tetapi hanyalah sejarah yang dituturkan dari mulut – ke mulut bagi setiap turunan bangsawan serta pujangga Toraja, yang dalam menceritakannya selalu menghubungkan atau mengaitkan dengan satu masalah tertentu, makanya dalam meneliti dan mempelajari serta menggali sejarah Toraja harus selalu meneliti sangkut paut tiap cerita dan kenyataan – kenyataan yang ada, kemudian dapat ditemukan sejarah yang sebenarnya mengenai Tana Toraja dan Suku Toraja yang masih sangat perlu adanya penelitian yang saksama dari para ahli sejarah dan budaya. Namun dari sekian banyak budayawan dan sejarawan menyatakan bahwa penduduk yang pertama – tama menguasai Tondok Lepongan Bulan berasal dari luar daerah Sulawesi Selatan yang diperkirakan datang sekitar abad ke-6 yang datang dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai besar menuju Pegunungan Sulawesi Selatan yang akhirnya menempati daerah pegunungan termasuk Toraja. Hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang ada, yang mengatakan kebanyakan dari mereka datangnya dari Selatan Tana Toraja.

Mereka datang dalam bentuk kelompok – kelompok yang dalam sejarah Toraja disebut Arroan (kelompok manusia) dan menyusuri sungai sungai dengan menggunakan perahu , dan setelah itu mereka tidak bisa lagi menggunakan perahu karena air deras dan berbatu. Maka mereka menambatkan perahunya di pinggir sungai dan tebing – tebing (yang kemungkinan dari sinilah muncul istilah “Toma’ Banua di Toke’ “), karena perahu ini digunakan sebagai tempat berdiam sementara. Arroan itu kemudian berjalan menuju pegunungan dan berdiam di sana.

Menurut sejarah Toraja, tiap Arroan ini dipimpin oleh Ambe’ Arroan (Ambe’ = bapak; Arroan = Kelompok Manusia). Arroan – arroan ini rupanya tidak datang sekaligus tetapi beberapa kali dan masing – masing Arroan menempati tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga masing – masing di bawah pimpinan Ambe’ Arroan. Lama kelamaan anggota dari Arroan – arroan itu bertambah banyak dan perlu memiliki tempat tinggal yang lebih luas sehingga anggota Arroan berpencar mencari tempat yang baru dalam bentuk kelompok yang lebih kecil yang disebut Pararrak (Pararrak = Penjelajah) dengan dipimpin oleh Pong Pararrak (Pong = Utama = Pokok) artinya Pimpinan Penjelajah.

Inilah yang menyebabkan adanya Gelar Ambe’ yang menjadi Siambe’ dan Gelar Pong yang tersebar luas di Tana Toraja yang di kemudian kedua gelar ini dipadukan karwena sumbernya Cuma satu yaitu menjadi nama/gelar Penguasa Adat misalnya

- Siambe’ Pong Simpin

- Siambe’ Pong Maramba’

- Siambe’ Pong Tiku

- Siambe’ Pong Palita

- Siambe’ Pong Panimba

- dll

Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran Arroan dan Pararrak, maka seluruh pelosok pegunungan dan tanah tinggi sudah terdapat penguasa – penguasa kecil dari turunan Ambe’ dan Pong yang perkembangannya sangat nampak dalam masyarakat Toraja sampai sekarang di samping Gelar Penguasa lainnya. Beberapa lama keadaan berjalan demikian maka dimana-mana sudah terdapat Penguasa Ambe’ dan Pong Pararrak, dan tersusunlah persekutuan-persekutuan adat kecil.

Kemudian dari selatan datang pula gelombang penguasa baru juga dengan menggunakan perahu melalui sungai.Penguasa – penguasa baru ini datang denga pengikut – pengikutnya yang dikenal dengan nama Puang – Puang Lembang (Puang = yang empunya; lembang = perahu) artinya yang empunya perahu. Mereka kemudian menempati daerah Bambapuang (daerah selatan Toraja yang masuk ke dalam administrasi pemerintahan Kab. Enrekang saat ini). Penguasa – penguasa ini mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara pemerintahan tersendiri, namun mereka masih dalam kelompokmkecil di daerah Bambapuang. Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain dan menjadi penguasa daerah yang ditempatinya, dan tidak lagi dikenal sebagai Puang Lembang (Empunya Perahu) tetapi Puang dari daerah yang dikuasainya misalnya :

- Puang ri Lembang (Yang empunya perahu)

- Puang ri Buntu ( penguasa daerah Buntu)

- Puang ri Tabang (penguasa daerah Tabang)

- Puang ri Batu (penguasa daerah Batu)

- Puang ri Su’pi’ (penguasa daerah Su’pi’) dll.

Setelah para Puang yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki kekuasaan, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Hal ini membuat sebagian Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk bersekutu untuk melawan Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut Bongga (= besar = hebat = dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat di antara mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang empunya kekuasaan yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang penguasa Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.

Timbulnya persekutuan ini menimbulkan pergeseran serta perubahan di sekitar Bambapuang, yang dalam perkembangannya kemudian muncul seorang penguasa Bongga yang terkenal yang mengadakan perombakan besar di Bambapuang yaitu Puang Londong di Rura, yang mempunyai cerita dalam masyarakat Toraja sebagai seorang yang lalim, keras hati, dan mendapat kutukan dari Puang Matua.

Karena persaingan yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini, maka pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi setelah terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk mencari tempat yang lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda dengan Pong Pararrak yang ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena masing – masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.